Total Tayangan Halaman

Selasa, 05 Februari 2013

POLEMIK UJIAN AKHIR NASIONAL (UAN)

POLEMIK UJIAN AKHIR NASIONAL (UAN)
Oleh: Didin Harianto
09406244001

Pada umur Indonesia yang sudah mencapai 67 tahun ini indonesia masih banyak di rundung oleh permasalahan-permasalahan. Salah satunya adalah permasalah yang terjadi di dalam dunia pendidikan nasional. Padahal pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat kita abaikan.[1] Pendidikan merupakan salah satu kunci untuk membuat bangsa menjadi besar dan maju, sehingga apabila masih banyak permasalahan dalam dunia pendidikan maka kemajuan bangsa pun akan sulit di capai.
Kebijakan pemerintah dalam melaksanakan Ujian Akhir Nasional selalu menghadirkan pro dan kontra. Bagi yang sependapat, UAN merupakan wahana untuk meningkatkan kualitas pendidikan dasar dan menengah di negeri ini. Sementara bagi pihak yang kontra, UAN justru di anggap akan membebani siswa dalam belajar. Bahkan menjadi hantu yang sangat menakutkan dan kemungkinan besar justru mematikan potensi anak. UAN juga sangat bertentangan dengan UU No.20/2002 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 58 Ayat 1 dan KPI menilai bahwa evaluasi pendidikan merupakan hak pendidik, sehingga yang menentukan kelulusan seseorang tetap berada di tangan masing-masing sekolah.[2] Pro kontra ini terjadi karena melihat kondisi dari proses UAN sendiri, dimana UAN itu sendiri mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan yang pasti dari UAN adalah terstandarnya pendidikan di Indonesia secara merata. Kekuarangannya UAN adalah masih kurangnya pengawasan dalam prosesnya sehingga banyak terjadi penyelewengan dalam prosesnya.
Dunia pendidikan sibuk dengan standarisasi pendidikan, sehingga lahirlah Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BNSP) yang mengatur berbagai jenis standar serta penyelenggaraan berbagai ujian untuk mencapai suatu standar tertentu.[3] Pendidikan nasional di Indonesia yang di orientasikan pada pengembangan intelektual yang dapat di ukur maka diadakanlah berbagai bentuk ujian nasional dalam berbagai wujud. Ujian Akhir Nasional bukan hanya terhadap peserta didik tetapi juga terhadap pendidik untuk mendapatkan sertifikasi guru.[4]
Ujian akhir nasional yang diselenggarakan pada saat ini bukan hanya berfungsi untuk menguji peserta didik dan pendidik, tetapi juga menghilangkan fungsi yang sesungguhnya sebagai evaluasi pendidikan. Ujian dalam arti evaluasi pendidikan adalah pemetaan pendidikan dalam rangka untuk penyusunan kebijkan pendidikan.[5] Evaluasi dalam dunia pendidikan memegang peranan yang sangat penting untuk menentukan langkah selanjutnya. Ngadiri berpendapat bahwa Ujian Akhir Nasional (UAN) merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan Pemerintah yang, menurut pendapat saya, merupakan bentuk lain dari Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir) yang sebelumnya di hapus.[6]
Hasil evaluasi dapat di gunakan untuk memutuskan bahwa seorang siswa dapat dinyatakan lulus atau tidaknya dan berhak di berikan sertifikasi atau tidaknya serta bisa mengetahui sejauh mana perkembangan pendidikan di setiap daerah berdasarkan hasil UAN. Tetapi evaluasi UAN justru di pergunakan untuk bersaing bukannya untuk memperbaiki permasalahan yang terjadi. Tanpa adanya evaluasi kita tidak akan tahu sejauh mana keluaran pendidikan yang telah di capai atau bahkan menyimpang dari tujuan yang telah di canangkan.hasil evaluasi yang benar sangat penting buat membuat masukan maupun proses pendidikan.[7]
UAN di pergunakan sebagai tolak ukur suatu daerah dan sekolah sebagai suatu kesuksesan. Daerah di katakan berhasil membangun pendidikannya jika dalam UAN jumlah kelulusannya tinggi dan di sekolah pun terjadi demikian, sehingga sekolah yang siswanya lulus UAN 100% maka hal itu akan menarik banyak orang tua untuk mendaftarkan anaknya untuk bersekolah di sekolah tersebut. Antara daerah-daerah dan sekolah dengan sekolah lain saling bersaing untuk bisa lulus UAN 100%, sehingga membentuk sebuah tim suskses untuk bisa mencapai kesuksesan lulus UAN 100%.
Lepas dari setuju tidak setuju, UAN sebenarnya diperlukan dalam memotret pemetaan kualitas satuan pendidikan nasional. Namun yang sering dikeluhkan, kenapa UAN dijadikan alat vonis penentuan kelulusan? Adilkah suka duka siswa dalam belajar selama tiga tahun hanya ditentukan nasibnya selama tiga hari pelaksanaan UAN?. Keluhan masyarakat jika UAN membuat siswa menjadi stres, lanjutnya, tidak ada jaminan apabila tanpa UAN siswa akan lulus. Sementara UAN sendiri diyakini pemerintah sebagai salah satu cara untuk mencapai standar mutu pendidikan nasional. Sementara itu Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) telah menerima sebanyak 472 kasus terkait dengan Ujian Akhir Nasional (UAN). "Hingga saat ini sudah ada 472 kasus terkait UAN misalnya kebocoran soal, ketidaklengkapan dokumen dan berita acara,".[8]
Mekanisme UAN yang diselenggarakan oleh pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005. Hal ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orang tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran mulai dari kelas 1 sampai kelas 3 yang akan di UAN-kan di sekolah dan di rumah. Hal ini membuat siswa semakin tertekan di buatnya. Apalagi pada tahun 2012 ini ada isu bahwa standar nilai kelulusan UAN akan di naikan dari 5,5 menjadi 6 atau tetap 5,5 tetapi tingkat kesulitan soal di naikan.[9] Jika isu ini benar adanya maka beban yang akan di hadapi oleh siswa akan lebih berat lagi dari pada yang sebelumnya, sehingga mungkin akan terjadi banyak kasus penyelewengan untuk bisa lulus UAN.
Pada penyelenggaraan UAN pada tahun ajaran 2003/2004, Koalisi Pendidikan menemukan berbagai penyimpangan yang terjadi, mulai dari teknis hingga finansial. Pertama, teknik penyelenggaraan. Perlengkapan ujian tidak disediakan secara memadai. Misalnya, dalam mata pelajaran bahasa Inggris, salah satu kemampuan yang diujikan adalah listening. Supaya bisa menjawab soal dengan baik, peserta ujian memerlukan alat untuk mendengar (tape dan earphone). Permasalahan yang sudah terjadi ini apakah sudah teratasi?, lalu bagaimana kalau belum teratasi dan muncul kebijakan baru tentang UAN yang akan ada 20 variasi soal dalam satu kelas?.[10] Apakah hal ini juga nantinya akan menimbulkan penyimpangan-penyimpangan baru lagi?.hal inilah yang akan menjadi pertanyaan kita mengenai pelaksanaan UAN pada tahun 2013 nanti.
Kedua, pengawasan. Dalam penyelenggaraan ujian, pengawasan menjadi bagian penting dalam UAN untuk memastikan tidak terjadinya sebuah kecurangan yang dilakukan oleh peserta. Fungsi pengawasan ini diserahkan kepada guru dengan sistem silang-pengawas tidak berasal dari sekolah yang bersangkutan, tapi dari sekolah lain, tetapi pada kenyataannya, terjadi kerja sama antar guru untuk memudahkan atau memberi peluang siswa menyontek.[11] Bahkan ketika ada suatu guru yang tidak mau di ajak untuk bekerja sama, nantinya guru tersebut akan mendapatkan pengeculilan dari pihak sekolah, guru-guru lain karena tidak mau bekerja sama. Bahkan ada sebuah kasus dimana ada seorang guru di sebuah kabupaten sebut saja kabupaten X, guru tersebut tidak mau bekerja sama dan ketika sedang bertugas mengawasi jalanya sebuah UAN di sebuah sekolah guru tersebut menemukan bahwa ada kecurangan yang di lakukan muridnya yaitu menyontek. Guru tersebut menegur murid yang melakukan kecurangan tersebut sehingga membuat murid marah dan mencegat guru tersebut sewaktu pulang untuk di kasih pelajaran, sehingga guru tersebut pun akhirnya pulang dengan di kawal polisi setempat. Hal ini menjadi pertanyaan baru mengenai UAN, apakah UAN benar-benar bisa menjadi tolak ukur untuk bisa mengetahui apakah susatu siswa itu lulus atau tidak lulus?.
Kasus di beberapa sekolah, guru, terutama untuk mata pelajaran yang dibuat secara nasional seperti matematika, bahasa Inggris, atau ekonomi, dengan berbagai modus dan berbagai cara di pergunakan untuk memberi kunci jawaban kepada siswa agar siswa bisa lulus dengan 100%. Selain itu, pada tingkat penyelenggara pendidikan daerah seperti dinas pendidikan, usaha untuk menggelembungkan (mark-up) hasil ujian pun terjadi. Caranya dengan membuat tim sukses UAN untuk membetulkan jawaban-jawaban siswa atau memberikan bantuan memberikan kunci jawaban kepada siswa pada saat mengerjakan UAN.
Penyimpangan di dalam UAN juga muncul perjokian. Perjokian pertama kali di indonesia muncul pada saat di selenggarakannya UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri).[12] Praktik perjokian ini selain di UMPTN juga mulai merambat ke UAN. Adanya joki menunjukan betapa budaya yang mementingkan simbol dan formalitas sudah memasuki alam pikiran sebagian kecil siswa.[13] Hal-hal inilah yang membuat banyak sekali muncul pertanyaan apakah UAN benar-benar efektif untuk menentukan kelulusan siswa di sekolah?.
Mutu pendidikan bukan hanya sekedar ditentukan oleh Ujian Akhir Nasional melainkan pada paradigma pendidikan itu sendiri. Selama ini kita sering menjadikan UAN sebagai tolok ukur prestasi, padahal secara substansial hal itu tidak pernah menjadi bukti bisa menentukan kualitas dari soarang siswa. Justru dengan kebijakan tersebut pendidikan kita semakin terperosok karena kebijakan tersebut selalu dibarengi dengan perilaku tak terpuji seperti korupsi, manipulasi anggaran, dan kecurangan-kecurangan lain yang dilakukan untuk mempertahankan kredibilitas sekolah maupun daerah.
Tidak terlepas dari pro kontra dan kelebihan dan kelemahan UAN kita bisa mengetahui apakah UAN memang bisa menjadi tolak ukur keberhasilan suatu pendidikan Nasional?. Apakah UAN benar-benar bisa menentukan lulus dan tidak lulusnya suatu siswa?. Apakah kebijakan pemerintah mengenai UAN tepat atau tidak di terapkan di negara Indonesia kita ini?. Semua hal itulah yang menjadi pertanyaan kita semua kepada sistem pendidikan nasional negara kita ini.


Referensi:
H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho. (2008). Kebijakan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kompas. Jumat, 12 Oktober. 2012.

M. Nuh. Mendiknas: Kontroversi UN Jangan Dirisaukan. Tersedia pada http://www.menkokesra.go.id. Diakses pada tanggal 1 September 2012.


Mohammad Saroni. (2010). Orang Miskin Harus Sekolah. Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA.

Suyanto dan Djihad Hisyam. (2000). Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, Yogyakarta: Adicipta Karya Nusa.

Yuli Harti.  Masih Perlukah Ujian Nasional?. Tersedia pada http://guruvalah.20m.com. Diakses pada tanggal 1 September 2012.

Zafika. 2007. Lebih asyik Tanpa UAN. Yogyakarta: LkiS.


[1] Mohammad Saroni, Orang Miskin Harus Sekolah, Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2010, hlm. 21.
[2] Zafika, Lebih asyik Tanpa UAN, Yogyakarta: LkiS, 2007, hlm. 32.
[3] H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hlm. 355.
[4] Ibid.
[5] Ibid., hlm. 356.
[6] Zafika, loc.cit.
[7] Suyanto dan Djihad Hisyam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, Yogyakarta: Adicipta Karya Nusa, 2000, hlm. 98.

[8] M. Nuh. Mendiknas: Kontroversi UN Jangan Dirisaukan. Tersedia pada http://www.menkokesra.go.id. Diakses pada tanggal 1 September 2012.

[9] Kompas, jumat, 12 oktober 2012, hlm. 12.
[10] Ibid.
[11] Yuli Harti.  Masih Perlukah Ujian Nasional?. Tersedia pada http://guruvalah.20m.com. Diakses pada tanggal 1 September 2012.
[12] Suyanto dan Djuhad Hisyam, op.cit., hlm. 101.
[13] Ibid., hlm. 102.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar