POLEMIK
UJIAN AKHIR NASIONAL (UAN)
Oleh: Didin
Harianto
09406244001
Pada umur Indonesia yang sudah mencapai 67
tahun ini indonesia masih banyak di rundung oleh permasalahan-permasalahan. Salah
satunya adalah permasalah yang terjadi di dalam dunia pendidikan nasional. Padahal
pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat kita abaikan.[1]
Pendidikan merupakan salah satu kunci untuk membuat bangsa menjadi besar dan
maju, sehingga apabila masih banyak permasalahan dalam dunia pendidikan maka
kemajuan bangsa pun akan sulit di capai.
Kebijakan pemerintah dalam melaksanakan Ujian Akhir Nasional selalu menghadirkan pro dan
kontra. Bagi yang sependapat, UAN merupakan wahana
untuk meningkatkan kualitas pendidikan dasar dan menengah di negeri ini.
Sementara bagi pihak yang
kontra, UAN justru di
anggap akan membebani siswa dalam
belajar. Bahkan menjadi hantu yang sangat menakutkan dan kemungkinan besar justru mematikan potensi anak. UAN
juga sangat bertentangan dengan UU No.20/2002 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, pasal 58 Ayat 1 dan KPI menilai bahwa evaluasi pendidikan merupakan
hak pendidik, sehingga yang menentukan kelulusan seseorang tetap berada di tangan
masing-masing sekolah.[2]
Pro kontra ini terjadi karena melihat kondisi dari proses UAN sendiri, dimana
UAN itu sendiri mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan yang pasti dari
UAN adalah terstandarnya pendidikan di Indonesia secara merata. Kekuarangannya
UAN adalah masih kurangnya pengawasan dalam prosesnya sehingga banyak terjadi
penyelewengan dalam prosesnya.
Dunia pendidikan sibuk dengan standarisasi pendidikan, sehingga lahirlah
Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BNSP) yang mengatur berbagai jenis
standar serta penyelenggaraan berbagai ujian untuk mencapai suatu standar
tertentu.[3]
Pendidikan nasional di Indonesia yang di orientasikan pada pengembangan
intelektual yang dapat di ukur maka diadakanlah berbagai bentuk ujian nasional
dalam berbagai wujud. Ujian Akhir Nasional bukan hanya terhadap peserta didik
tetapi juga terhadap pendidik untuk mendapatkan sertifikasi guru.[4]
Ujian akhir nasional yang diselenggarakan pada saat ini bukan hanya
berfungsi untuk menguji peserta didik dan pendidik, tetapi juga menghilangkan
fungsi yang sesungguhnya sebagai evaluasi pendidikan. Ujian dalam arti evaluasi
pendidikan adalah pemetaan pendidikan dalam rangka untuk penyusunan kebijkan
pendidikan.[5]
Evaluasi dalam dunia pendidikan memegang peranan yang sangat penting untuk
menentukan langkah selanjutnya. Ngadiri berpendapat bahwa Ujian Akhir Nasional
(UAN) merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan Pemerintah yang,
menurut pendapat saya, merupakan bentuk lain dari Ebtanas (Evaluasi Belajar
Tahap Akhir) yang sebelumnya di hapus.[6]
Hasil evaluasi dapat di gunakan untuk memutuskan bahwa seorang siswa dapat
dinyatakan lulus atau tidaknya dan berhak di berikan sertifikasi atau tidaknya
serta bisa mengetahui sejauh mana perkembangan pendidikan di setiap daerah
berdasarkan hasil UAN. Tetapi evaluasi UAN justru di pergunakan untuk bersaing
bukannya untuk memperbaiki permasalahan yang terjadi. Tanpa adanya evaluasi
kita tidak akan tahu sejauh mana keluaran pendidikan yang telah di capai atau
bahkan menyimpang dari tujuan yang telah di canangkan.hasil evaluasi yang benar
sangat penting buat membuat masukan maupun proses pendidikan.[7]
UAN di pergunakan sebagai tolak ukur suatu daerah dan sekolah sebagai suatu
kesuksesan. Daerah di katakan berhasil membangun pendidikannya jika dalam UAN
jumlah kelulusannya tinggi dan di sekolah pun terjadi demikian, sehingga
sekolah yang siswanya lulus UAN 100% maka hal itu akan menarik banyak orang tua
untuk mendaftarkan anaknya untuk bersekolah di sekolah tersebut. Antara
daerah-daerah dan sekolah dengan sekolah lain saling bersaing untuk bisa lulus
UAN 100%, sehingga membentuk sebuah tim suskses untuk bisa mencapai kesuksesan
lulus UAN 100%.
Lepas dari
setuju tidak setuju, UAN sebenarnya
diperlukan dalam memotret pemetaan kualitas satuan pendidikan nasional. Namun
yang sering dikeluhkan, kenapa UAN dijadikan alat vonis penentuan kelulusan? Adilkah suka duka siswa dalam belajar selama tiga tahun hanya ditentukan nasibnya
selama tiga hari pelaksanaan UAN?. Keluhan
masyarakat jika UAN membuat siswa menjadi stres, lanjutnya, tidak ada jaminan
apabila tanpa UAN siswa akan lulus. Sementara UAN sendiri diyakini pemerintah
sebagai salah satu cara untuk mencapai standar mutu pendidikan nasional. Sementara
itu Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) telah menerima sebanyak 472
kasus terkait dengan Ujian Akhir Nasional (UAN). "Hingga saat ini sudah
ada 472 kasus terkait UAN misalnya kebocoran soal, ketidaklengkapan dokumen dan
berita acara,".[8]
Mekanisme UAN yang diselenggarakan oleh pemerintah telah mematok standar
nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan
4,25 pada tahun 2004/2005. Hal ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi
peserta didik dan orang tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran
mulai dari kelas 1 sampai kelas 3 yang akan di UAN-kan di sekolah dan di rumah.
Hal ini membuat siswa semakin tertekan di buatnya. Apalagi pada tahun 2012 ini
ada isu bahwa standar nilai kelulusan UAN akan di naikan dari 5,5 menjadi 6
atau tetap 5,5 tetapi tingkat kesulitan soal di naikan.[9]
Jika isu ini benar adanya maka beban yang akan di hadapi oleh siswa akan lebih
berat lagi dari pada yang sebelumnya, sehingga mungkin akan terjadi banyak
kasus penyelewengan untuk bisa lulus UAN.
Pada penyelenggaraan UAN pada tahun ajaran 2003/2004, Koalisi Pendidikan
menemukan berbagai penyimpangan yang terjadi, mulai dari teknis hingga
finansial. Pertama, teknik penyelenggaraan. Perlengkapan ujian tidak disediakan
secara memadai. Misalnya, dalam mata pelajaran bahasa Inggris, salah satu
kemampuan yang diujikan adalah listening. Supaya bisa menjawab soal dengan
baik, peserta ujian memerlukan alat untuk mendengar (tape dan earphone).
Permasalahan yang sudah terjadi ini apakah sudah teratasi?, lalu bagaimana
kalau belum teratasi dan muncul kebijakan baru tentang UAN yang akan ada 20
variasi soal dalam satu kelas?.[10]
Apakah hal ini juga nantinya akan menimbulkan penyimpangan-penyimpangan baru
lagi?.hal inilah yang akan menjadi pertanyaan kita mengenai pelaksanaan UAN
pada tahun 2013 nanti.
Kedua, pengawasan. Dalam penyelenggaraan ujian, pengawasan menjadi
bagian penting dalam UAN untuk memastikan tidak terjadinya sebuah kecurangan
yang dilakukan oleh peserta. Fungsi pengawasan ini diserahkan kepada guru
dengan sistem silang-pengawas tidak berasal dari sekolah yang bersangkutan,
tapi dari sekolah lain, tetapi pada kenyataannya, terjadi kerja sama antar guru
untuk memudahkan atau memberi peluang siswa menyontek.[11]
Bahkan ketika ada suatu guru yang tidak mau di ajak untuk bekerja sama,
nantinya guru tersebut akan mendapatkan pengeculilan dari pihak sekolah,
guru-guru lain karena tidak mau bekerja sama. Bahkan ada sebuah kasus dimana
ada seorang guru di sebuah kabupaten sebut saja kabupaten X, guru tersebut
tidak mau bekerja sama dan ketika sedang bertugas mengawasi jalanya sebuah UAN
di sebuah sekolah guru tersebut menemukan bahwa ada kecurangan yang di lakukan
muridnya yaitu menyontek. Guru tersebut menegur murid yang melakukan kecurangan
tersebut sehingga membuat murid marah dan mencegat guru tersebut sewaktu pulang
untuk di kasih pelajaran, sehingga guru tersebut pun akhirnya pulang dengan di
kawal polisi setempat. Hal ini menjadi pertanyaan baru mengenai UAN, apakah UAN
benar-benar bisa menjadi tolak ukur untuk bisa mengetahui apakah susatu siswa
itu lulus atau tidak lulus?.
Kasus di beberapa sekolah, guru, terutama untuk mata pelajaran yang
dibuat secara nasional seperti matematika, bahasa Inggris, atau ekonomi, dengan
berbagai modus dan berbagai cara di pergunakan untuk memberi kunci jawaban
kepada siswa agar siswa bisa lulus dengan 100%. Selain itu, pada tingkat
penyelenggara pendidikan daerah seperti dinas pendidikan, usaha untuk
menggelembungkan (mark-up) hasil ujian pun terjadi. Caranya dengan membuat tim sukses
UAN untuk membetulkan jawaban-jawaban siswa atau memberikan bantuan memberikan
kunci jawaban kepada siswa pada saat mengerjakan UAN.
Penyimpangan di dalam UAN juga muncul perjokian. Perjokian pertama kali di
indonesia muncul pada saat di selenggarakannya UMPTN (Ujian Masuk Perguruan
Tinggi Negeri).[12] Praktik perjokian ini
selain di UMPTN juga mulai merambat ke UAN. Adanya joki menunjukan betapa
budaya yang mementingkan simbol dan formalitas sudah memasuki alam pikiran
sebagian kecil siswa.[13]
Hal-hal inilah yang membuat banyak sekali muncul pertanyaan apakah UAN
benar-benar efektif untuk menentukan kelulusan siswa di sekolah?.
Mutu
pendidikan bukan hanya sekedar ditentukan oleh Ujian Akhir Nasional melainkan
pada paradigma pendidikan itu sendiri. Selama ini kita sering menjadikan UAN sebagai tolok ukur
prestasi, padahal secara substansial hal itu tidak pernah menjadi bukti bisa menentukan kualitas dari soarang siswa. Justru dengan kebijakan
tersebut pendidikan kita
semakin terperosok karena kebijakan tersebut selalu dibarengi dengan perilaku
tak terpuji seperti korupsi, manipulasi anggaran, dan kecurangan-kecurangan
lain yang dilakukan untuk mempertahankan kredibilitas sekolah maupun daerah.
Tidak terlepas dari pro
kontra dan kelebihan dan kelemahan UAN kita bisa mengetahui apakah UAN memang
bisa menjadi tolak ukur keberhasilan suatu pendidikan Nasional?. Apakah UAN
benar-benar bisa menentukan lulus dan tidak lulusnya suatu siswa?. Apakah
kebijakan pemerintah mengenai UAN tepat atau tidak di terapkan di negara
Indonesia kita ini?. Semua hal itulah yang menjadi pertanyaan kita semua kepada
sistem pendidikan nasional negara kita ini.
Referensi:
H.A.R.
Tilaar dan Riant Nugroho. (2008). Kebijakan
Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kompas.
Jumat, 12 Oktober. 2012.
M.
Nuh. Mendiknas: Kontroversi UN Jangan
Dirisaukan. Tersedia pada http://www.menkokesra.go.id. Diakses pada
tanggal 1 September 2012.
Mohammad
Saroni. (2010). Orang Miskin Harus
Sekolah. Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA.
Suyanto
dan Djihad Hisyam. (2000). Refleksi dan
Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, Yogyakarta:
Adicipta Karya Nusa.
Yuli Harti. Masih Perlukah Ujian Nasional?. Tersedia pada http://guruvalah.20m.com. Diakses pada
tanggal 1 September 2012.
Zafika.
2007. Lebih asyik Tanpa UAN.
Yogyakarta: LkiS.
[1] Mohammad
Saroni, Orang Miskin Harus Sekolah,
Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2010, hlm. 21.
[3] H.A.R. Tilaar
dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hlm. 355.
[4] Ibid.
[5] Ibid., hlm. 356.
[7] Suyanto dan
Djihad Hisyam, Refleksi dan Reformasi
Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, Yogyakarta: Adicipta Karya
Nusa, 2000, hlm. 98.
[8] M. Nuh. Mendiknas: Kontroversi UN Jangan Dirisaukan.
Tersedia pada http://www.menkokesra.go.id. Diakses pada
tanggal 1 September 2012.
[9] Kompas, jumat,
12 oktober 2012, hlm. 12.
[10] Ibid.
[11] Yuli Harti. Masih Perlukah Ujian Nasional?. Tersedia pada http://guruvalah.20m.com. Diakses pada
tanggal 1 September 2012.
[12] Suyanto dan
Djuhad Hisyam, op.cit., hlm. 101.
[13] Ibid., hlm. 102.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar