Gerakan Anti Swapraja Di Surakarta
Didin Harianto
09406244001
Pendidikan Sejarah
Provinsi Surakarta atau Daerah Istimewa Surakarta (DIS) adalah sebuah provinsi yang pernah ada sejak Agustus 1945 sampai tanggal 16 Juni 1946. Provinsi ini merupakan bagian dari Republik Indonesia yang terdiri atas Daerah Istimewa Kasunanan dan Daerah Istimewa Mangkunagaran dan diperintah secara bersama oleh KNI Daerah Surakarta, Susuhunan dan Mangkunegara. Penetapan status Istimewa ini dilakukan Presiden RI Soekarno sebagai balas jasa atas pengakuan raja-raja Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunagaran yang menyatakan wilayah mereka adalah bagian dari Republik Indonesia.
Pada Oktober 1945, muncul gerakan Anti swapraja atau anti monarki atau anti feodal di Surakarta, di mana salah seorang pimpinannya adalah Tan Malaka, pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tujuan gerakan ini adalah penghapusan DIS, serta pembubaran Mangkunegara dan Susuhunan. Motif lain dari gerakan ini adalah perampasan tanah-tanah pertanian yang dikuasai Mangkunegara dan Susuhunan untuk dibagi-bagikan sesuai dengan kegiatan landreform oleh golongan komunis. Pada tanggal 17 Oktober 1945, Pepatih Dalem (perdana menteri) Kasunanan KRMH Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh gerombolan Anti swapraja. Aksi ini diikuti pencopotan Bupati-bupati yang umumnya kerabat raja dan diganti orang-orang yang pro gerakan Anti swapraja. Maret 1946, Pepatih Dalem yang baru KRMT Yudonagoro juga diculik dan dibunuh. April 1946, 9 pejabat Kepatihan mengalami hal yang sama. Karena banyaknya kerusuhan, penculikan dan pembunuhan, maka Pemerintah RI membubarkan DIS dan menghilangkan kekuasaan raja-raja Kasunanan dan Mangkunagaran. Status Susuhunan Surakarta dan Adipati Mangkunegara menjadi rakyat biasa di masyarakat dan Keraton diubah menjadi pusat pengembangan seni dan budaya Jawa.
Dalam buku Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta (1999) yang ditulis Nurhajarini, menguraikan bahwa proses delegitimasi Keraton Surakarta sudah dimulai sejak lama hingga pada bulan Oktober 1945 terbentuk gerakan swapraja yang menggelar kampanye antimonarki dan feodalisme di Surakarta. Gerakan yang menyebut-nyebut nama Tan Malaka sebagai salah satu pemimpinnya itu, tak hanya memasang target untuk membubarkan DIS, tapi juga menginginkan dicabutnya beragam privilege yang dimiliki Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegara. Kelompok ini berharap bisa mengambil alih tanah-tanah yang dikuasai dua monarki itu dan membagikannya pada para petani.
Dari kelompok inilah yang ada di balik serangkaian kerusuhan, kekacauan dan kekerasan di Surakarta, di mana bupati-bupati di Daerah Istimewa Surakarta yang masih kerabat keraton diturunkan oleh massa. Bayangan revolusi sosial di Sumatra Timur yang merenggut banyak sekali bangsawan Melayu, membayang di Surakarta. Pemerintah RI akhirnya turun tangan dan mengirimkan pasukan untuk menjaga Keraton Surakarta. Kemudian, pemerintah RI menindaklanjuti situasi yang tak terkendali dengan mengeluarkan beleid pembentukan Karesidenan Surakarta dan Kotamadya Surakarta. Daerah Istimewa Surakarta pun berakhir dengan tragis. Berbagai rangkaian kerusuhan dan kekerasan sosial pelan tapi pasti, membuat proses delegitimasi Keraton Surakarta berjalan lebih cepat. Hal lain yang membuat cepatnya delegitimasi itu adalah keberadaan Surakarta sebagai salah satu daerah yang paling riuh dan bergolak sepanjang periode pergerakan nasional.
Refrensi:
Suyatno Kartodirjo. 2007. Istoria: Feodalisme dan Revolusi Sosisal Di Surakarta 145-1950. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Sejarah.
Purwadi dan Djoko Dwiyanto. 2008. Kraton Surakarta. Yogyakarta: Panji Pustaka.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus