Total Tayangan Halaman

Selasa, 04 Oktober 2011

Partai Arab Indonesia


Partai Arab Indonesia

Didin Harianto

09406244001

Pendidikan Sejarah NR 2009

 

Kiprah keturunan Arab dalam bidang politik di Indonesia sudah berlangsung sejak lama. Baru pada tanggal 4 Oktober 1934, kegiatan ini diwujudkan dalam satu wadah, ketika tokoh masyarakat Arab kala itu, AR Baswedan mendirikan Partai Arab Indonesia (PAI) dan Abdul Rahman Baswedan terpilih sebagai ketua dari Partai Arab Indonesia. Berdirinya PAI hanya enam tahun setelah Sumpah Pemuda. Mereka membuat sumpah serupa: “Tanah Air kami satu, Indonesia. Pada 4-5 Oktober 1934 para pemuda keturunan Arab dari berbagai kota di Nusantara berkumpul di Semarang. Pada waktu itu masyarakat Arab seluruh Indonesia gempar karena adanya Konferensi Peranakan Arab di Semarang ini. Dalam konferensi PAI di Semarang AR Baswedan pertama-tama mengajukan pertanyaan di mana tanah airnya. Para pemuda yang menghadiri kongres itu mempunyai cita-cita bahwa bangsa Arab Indonesia harus disatukan untuk kemudian berintegrasi penuh ke dalam bangsa Indonesia. Dalam konferensi itu parap pemuda Indonesia keturunan Arab membuat sumpah: “Tanah Air kami satu, Indonesia. Dan keturunan Arab harus meninggalkan kehidupan yang menyendiri (isolasi)”. Sumpah ini dikenal dengan Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab. Sumpah Pemuda Keturunan Arab memiliki 3 butir pernyataan yaitu: 1. Tanah Air Peranakan Arab adalah Indonesia. 2. Peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan menyendiri (mengisolasi diri) 3. Peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap tanah-air dan bangsa Indonesia.
Menurut AR Baswedan persatuan adalah modal utama bagi Arab peranakan untuk kemudian bersama-sama kaum pergerakan nasional bersatu melawan penjajah. Sebelumnya kongres itu seluruh keturunan Arab -biarpun mereka yang cerdas dan terkemuka- tidak ada yang mengakui Indonesia sebagai tanah airnya. Mereka berpendapat bahwa tanah airnya adalah di negeri Arab bukan Indonesia. AR Baswedan menjadi pelopor bangkitnya nasionalisme kaum Arab yang awalnya enggan mengakui Indonesia sebagai tanah air. Sejak 4 Oktober 1934 itu keturunan Arab bersatu bersama pergerakan nasional dan meninggalkan identitas ke-Araban, lalu berubah identitas dari semangat kearaban menjadi semangat keIndonesiaan.
Sebuah pengakuan yang jelas bagi keturunan Arab bahwa tanah airnya adalah Indonesia. Ketegasan ini pada awalnya banyak yang menentang. Namun perlahan seruan Kongres ini menggema. Banyak peranakan Arab yang mendukung dan mengikuti pergerakan dan gagasan ini. Gagasan sangat berjasa melahirkan kesadaran Indonesia sebagai tanah air bagi orang Arab. Peranakan Arab pada akhirnya diakui sebagai saudara setanah air. Sejarah mencatat pendirian PAI ini selanjutnya memberi efek besar bagi komunitas Arab di Indonesia. Banyak tokoh-tokohnya ikut berjuang saat itu duduk dalam pemerintahan dan aktif dalam masyarakat Indonesia. Anak dan keturunannya di masa sekarang juga tidak sedikit yang berkiprah sebagai tokoh nasional. Sumpah Pemuda Keturunan Arab ini dihadiri oleh tokoh-tokoh pemuda keturunan Arab. Hasil konferensi itu adalah dibentuknya Persatuan Arab Indonesia yang kemudian menjadi Partai Arab Indonesia. Dalam konferensi itu disepakati pengurusan PAI sebagai berikut: AR Baswedan (Ketua), Nuh Alkaf (Penulis I), Salim Maskati (Penulis II), Segaf Assegaf (Bendahara), Abdurrahim Argubi (Komisaris). Tokoh PAI lainnya adalah Hamid Algadri, Ahmad Bahaswan, HMA Alatas, HA Jailani, Hasan Argubi, Hasan Bahmid, A. Bayasut, Syechan Shahab, Husin Bafagih, ALi Assegaf, Ali Basyaib dll.
Pada tanggal 4-5 Oktober 1934, para pemuda keturunan Arab di Nusantara melakukan kongres di Semarang. Dalam kongres ini mereka bersepakat untuk mengakui Indonesia sebagai tanah air mereka, karena sebelumnya kalangan keturunan Arab berangapan bahwa tanah air mereka adalah negeri-negeri Arab dan senantiasa berorientasi ke Arab. Kongres pemuda keturunan Arab ini jarang diketahui masyarakat karena tidak diajarkan dalam mata pelajaran sejarah di Indonesia. Padahal, sumpah pemuda keturunan arab ini memiliki konsekuensi yang besar bagi diri mereka sebagai keturunan arab dan bagi dukungan perjuangan kemerdekaan di Indonesia. Dan keturunan Arab harus meninggalkan kehidupan yang menyendiri (isolasi).” Pada mulanya, PAI masih berbentuk persatuan.
Tetapi, pada 1940, ketika suhu politik menentang penjajah meningkat, Partai Arab Indonesia (PAI) pun mengubah namanya menjadi ‘partai’. Dalam kiprahnya, PAI merupakan partai pertama yang mendukung ‘Petisi Soetardjo’ menuntut Indonesia berparlemen dan kemerdekaan penuh.  Partai Arab Indonesia (PAI) juga terlibat dalam gerakan anti Jepang. Pada masa proklamasi, banyak keturunan Arab yang gugur sebagai pejuang. Partai Arab ini membubarkan diri setelah proklamasi kemerdekaan, ketika pemerintah mengeluarkan Manifes Politik agar parpol-parpol membubarkan diri dan membentuk parpol baru.
Partai Arab Indonesi (PAI) yang tidak bersedia membentuk parpol baru, para pemimpinnya kemudian masuk ke berbagai parpol. Seperti AR Baswedan (Masyumi), dan Mr Hamid Algadri (PSI). Banyak pula yang berkiprah di pengurus NU, PNI, bahkan PKI. Seperti Baraqbah, yang menjadi ketua PKI Kalimantan Timur. Kembali ke masa-masa sebelumnya, Belanda dalam upaya memisahkan dan mengisolasi keturunan Arab melakukan politik wijkenstelsel atau passenstelsel. Tujuannya untuk memisahkan orang Arab dengan pribumi. Dengan menempatkan mereka dalam semacam ghetto-ghetto.

Refrensi:
Suratmin. 1989. Abdul Rahman Baswedan. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
Sartono Kaartodirdjo. 1993. Pengantar Sejarah Baru: Sejarah Pergerakan Nasional. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Suryanegara, A.M. 1996. Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung: Penerbitan Mizan.

Bung Karno Sang Proklamator


Bung Karno Sang Proklamator

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Indonesia Masa Pergerakan Nasional
Dosen Pengampu: Dr. Aman, M.Pd. , Prof. Dr. H. Haikal, MA , dan Dyah Kumalasari, M.Pd


 










Disusun Oleh :
Didin Harianto
09406244001


JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2011
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Soekarno adalah salah seorang pejuang yang telah memberikan kontribusi besar kepada bangsa Indonesia ini. Soekarno tidak hanya seorang pahlawan melainkan juga seorang negarawan dan guru bangsa bagi bangsa Indonesia, baik dalam pemikiran maupun tindakan. Orang yang dilahirkan dengan nama Kusno Sostrodiharjo ini adalah Presiden Indonesia pertama sekaligus Proklamator Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Putra dari pasangan Ida Ayu Nyoman Rai Sarimben dan Raden Soekemi Sosrodiharjo ini dilahirkan di kota Surabaya pada tanggal 6 Juni tahun 1901. Soekarno dilahirkan disaat fajar mulai menyingsing sehingga Soekemi menganggap anaknya sebagai “sang fajar” yang dilahirkan dalam abad Revolusi Kemanusiaan.[1]
Pada tahun 1908, Ir. Soekarno menjalani Sekolah Dasarnya di HIS yang kemudian pindah ke Sekolah Eropa atau Europesche Lagere School (ELS) di kota Mojokerto pada tahun 1911, yang kemudian diselesaikan pada tahun 1916. Memasuki usia 14 tahun, seorang teman bapaknya yang bernama Oemar Said Tjokroaminoto mengajaknya tinggal di Surabaya. Maka pada tahun 1916, Soekarno tinggal bersama teman ayahnya tersebut dan masuk sekolah Menengah atau Hogere Burgere school (HBS) di Surabaya. Setelah menamatkan sekolahnya di HBS pada tahun 1921, Suekarno melanjutkan sekolahnya di perguruan tinggi atau Technische Hooge School (THS) di Kota Bandung, yang kini kita kenal dengan nama ITB (Institut Teknik Bandung) dari tahun 1921-1926. Walaupun sebagian besar dari pendidikan yang Soekarno peroleh merupakan pendidikan barat akan tetapi orang tuanya tidak mengharapkan anaknya menjadi kebarat-baratan.[2]
Tjokroaminoto yang seorang Nasionalis dan pemimpin Sarekat Islam cukup mempengaruhi perhatian Soekarno terhadap perjuangan politik bangsa Indonesia. Dari sanalah Soekarno mulai berkenalan dengan paham Nasionalisme Indonesia yang telah berkembang di Indonesia sejak Boedi Oetomo. Kesadaran Nasionalnya semakin tampak dengan bergabungnya ia dalam organisasi kaum muda. Saat di Bandung, Soekarno berinteraksi dengan Tjipto Mangunkusuma dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij, sebuah organisasi yang pertama kali berani menuntut kemerdekaan Indonesia. Setelah lulus dari THS pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene studie Club di Bandung. Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikannya pada tanggal 4 Juli 1927 bersama teman-temannya Mr.Iskaq, Dr.Tjipto, M.Boediardjo dan Mr.Soenarjo. Sebagai badan eksekutif telah ditunjuk Soekarno sebagai ketua, Iskaq sebagai sekretaris atau bendahara, dan Dokter Samsi sebagai komisaris.[3]
Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933 dan diasingkan ke Flores. Di sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun semangatnya tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hassan.Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan. Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Imperialisme Belanda telah “menyiksa” bangsa indonesia selama berabad-abad. Berbagai penindasan dan penganiayaan telah dirasakan, sampai di masa sekarang kita pun masih dijajah melalui sebuah Imperialisme modern dimana para penjajah itu berusaha mengeksploitasi sumber daya alam kita melalui berbagai macam cara. Bung Karno telah mengenalkan kita pada sebuah semangat kebangsaan, suatu semangat untuk membangun negara, suatu semangat juang untuk membangun Indonesia. Itu lah yang harusnya kita pahami, kita pertahankan. Itu lah warisan bung Karno yang mesti kita bangkitkan kembali, semangatnya, idealismenya, cita-citanya. Soekarno mengajarkan kita pada berbagai macam pemahamannya, salah satunya adalah Trisakti. Tidak salah apa yang diajarkan soekarno pada saat itu, jika melihat apa yang terjadi dengan bangsa kita sekarang yang tidak memiliki jati diri. Ajaran Trisakti yang bung karno utarakan dimana bangsa kita harus memiliki identitas dan harus memilki kepribadian rasanya harus dibangun kembali, suatu konsekuensi bangsa yang tidak memiliki identitas, adalah selalu dipandang sebelah mata, selain berakibat ketergantungan.
Ajaran Marhaenisme, bung Karno menanamkan pemahaman suatu ekonomi kerakyatan atau Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) untuk membangun perekonomian kita. Dimana kita sebagai bangsa yang kaya akan alam harus membangun ekonomi secara mandiri sehingga kita tidak menjadi bergantung kepada bangsa lain yang memanfaatkan hal tersebut untuk mengeruk sumber daya alam kita. Kita jangan sampai terjebak dalam lingkaran imperialisme ataupun kolonialisme gaya baru.

B.     Rumusan Masalah
Untuk memperjelas permasalah yang di bahas dalam judul penelitian “Bung Karno Sang Proklamator” maka peneliti merumuskan beberapa permasalahan di anataranya yaitu:
1.      Bagaimana pendidikan yang di peroleh Soekarno waktu kecil?
2.      Bagaiman bentuk perjuangan soekarno untuk memerdekan Indonesia?

C.    Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui pendidikan yang di peroleh Suekarno pada waktu kecil sampai Suekarno bisa menjadi seorang yang sangat di hormati oleh bangsa Indonesia.
2.      Untuk mengetahui perjuangan soekarno untuk memerdekan Indonesia dari penjajahan dan imperialime negara barat.












BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.    Kehidupan waktu kecil soekarno
Soekarno dilahirkan dengan seorang ayah yang bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya yaitu Ida Ayu Nyoman Rai.Keduanya bertemu ketika Raden Soekemi yang merupakan seorang guru ditempatkan di Sekolah Dasar Pribumi di Singaraja, Bali.Nyoman Rai merupakan keturunan bangsawan dari Bali dan beragama Hindu sedangkan Raden Soekemi sendiri beragama Islam. Mereka telah memiliki seorang putri yang bernama Sukarmini sebelum Soekarno lahir. Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa Timur. Ia bersekolah pertama kali di Tulung Agung hingga akhirnya ia pindah ke Mojokerto, mengikuti orangtuanya yang ditugaskan di kota tersebut. Di Mojokerto, ayahnya memasukan Soekarno ke Eerste Inlandse School, sekolah tempat ia bekerja.Kemudian pada Juni 1911 Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya diterima di Hoogere Burger School (HBS).
Pada tahun 1915, Soekarno telah menyelesaikan pendidikannya di ELS dan berhasil melanjutkan ke HBS. di Surabaya, Jawa Timur. Ia dapat diterima di HBS atas bantuan seorang kawan bapaknya yang bernama H.O.S. Tjokroaminoto. Tjokroaminoto bahkan memberi tempat tinggal bagi Soekarno di pondokan kediamannya. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu, seperti Alimin, Musso, Dharsono, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis. Soekarno kemudian aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Darmo yang dibentuk sebagai organisasi dari Budi Utomo. Nama organisasi tersebut kemudian ia ganti menjadi Jong Java (Pemuda Jawa) pada 1918. Selain itu, Soekarno juga aktif menulis di harian "Oetoesan Hindia" yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.
Pada tahun 1921 setelah lulus dari HBS, Suekarno melanjutkan sekolahnya di perguruan tinggi atau Technische Hooge School (THS) di Kota Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil dan tamat pada tahun 1925, yang kini kita kenal dengan nama ITB (Institut Teknik Bandung). Saat di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto. Di sana ia berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij, sebuah organisasi yang pertama kali berani menuntut kemerdekaan Indonesia. Walaupun sebagian besar dari pendidikan yang Soekarno peroleh merupakan pendidikan barat akan tetapi orang tuanya tidak mengharapkan anaknya menjadi kebarat-baratan.[4]

B.     Perjuangan Bung Karno
Sukarno adalah seorang pemimpin besar di mata rakyat Indonesia. Sukarno memulai langkah awalnya dengan berguru kepada H.O.S Tjokroaminoto yaitu seorang tokoh Sarekat Islam yang nantinya putri dari gurunya yaitu Siti Utari Tjokroaminoto akan menjadi salah seorang istri Sukarno.[5] Soekarno mulai berkenalan dengan paham Nasionalisme Indonesia yang telah berkembang di Indonesia sejak Boedi Oetomo. Kesadaran Nasionalnya semakin tampak dengan bergabungnya ia dalam organisasi kaum muda. Saat di Bandung, Soekarno berinteraksi dengan Tjipto Mangunkusum dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij, sebuah organisasi yang pertama kali berani menuntut kemerdekaan Indonesia. Akhirnya setelah ia lulus dari THS pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene studie Club di Bandung. Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikannya pada tanggal 4 Juli 1927 bersama teman-temannya Mr.Iskaq, Dr.Tjipto, M.Boediardjo dan Mr.Soenarjo dengan suekarno sebagai ketuanya.
Pada tahun 1928 anggota PNI berjumlah 2.787 orang. Jumlah anggtota yang banyak itu bukan hasil dari popularitas rapat-rapat umum yang dielenggarakan PNI melainkan disebabkan oleh pidato-pidato Suekarno yang menarik perhatian Rakyat.[6] Dalam kegiatan politiknya di PNI, Soekarno banyak mendapat intervensi dari Pemerintah Kolonial Belanda sampai akhirnya pada tanggal 29 Desember 1929 dilakukan penangkapan para pemimpin PNI karena dianggap menghasut, untuk menanamkan permusuhan dan pemberontakan terhadap pihak kolonial Belanda. Pengadilan politik yang dilakukan penjajah Belanda terhadap Bung Karno dan teman-temannya, memunculkan pidatonya yang dikenal dengan nama “Indonesia Menggugat”, sebuah pidato pembelaan Soekarno yang menentang Imperialisme dan Kolonialisme yang dilakukan penjajah Belanda terhadap masyarakat kita selama berabad-abad. Sampai akhirnya ia dibebaskan pada tanggal 31 Desember 1931.
Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933 dan diasingkan ke Flores. Di sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun semangatnya tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hassan.Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan kembali. Soekarno baru kembali bebas lagi pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Pada awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk "mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer. Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memperhatikan dan sekaligus memanfaatkan tokoh tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H Mas Mansyur dan lain lainnya disebut-sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.
Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerjasama dengan Jepang sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri. Suekarno aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945 dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir ke Rengasdengklok.
Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.
Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI,Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi), Panitia Kecil yang terdiri dari sembilan orang/Panitia Sembilan (yang menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, Soekarno-Hatta mendirikan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air Peta Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih serta Chairul Saleh. Para pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang berkembang adalah Soekarno menetapkan moment tepat untuk kemerdekaan Republik Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini merupakan bulan turunnya wahyu pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi presiden dan wakil presiden dikukuhkan oleh KNIP.Pada tanggal 19 September 1945 kewibawaan Soekarno dapat menyelesaikan tanpa pertumpahan darah peristiwa Lapangan Ikada dimana 200.000 rakyat Jakarta akan bentrok dengan pasukan Jepang yang masih bersenjata lengkap.
Soekarno mengajarkan kita pada berbagai macam pemahamannya, salah satunya adalah Trisakti. Tidak salah apa yang diajarkan soekarno pada saat itu, jika melihat apa yang terjadi dengan bangsa kita sekarang yang tidak memiliki jati diri. Salah satu contohnya bisa kita lihat dengan apa yang ditayangkan oleh televisi. Jika kita melihat tayangan sinetron, apakah tercermin identitas bangsa kita, rasanya tidak. Ajaran Trisakti yang bung karno utarakan dimana bangsa kita harus memiliki identitas dan harus memilki kepribadian rasanya harus dibangun kembali, suatu konsekuensi bangsa yang tidak memiliki identitas, adalah selalu dipandang sebelah mata, selain berakibat ketergantungan.
Ajaran Marhaenisme, bung Karno menanamkan pemahaman suatu ekonomi kerakyatan atau Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) untuk membangun perekonomian kita. Dimana kita sebagai bangsa yang kaya akan alam harus membangun ekonomi secara mandiri sehingga kita tidak menjadi bergantung kepada bangsa lain yang memanfaatkan hal tersebut untuk mengeruk sumber daya alam kita. Kita jangan sampai terjebak dalam lingkaran imperialisme ataupun kolonialisme gaya baru. Ekonomi kerakyatan bertujuan untuk memakmurkan rakyat. Sehingga jangan sampai rakyat yang menjadi korban dan terpinggirkan di negaranya sendiri.













      
DAFTAR PUSTAKA
       Adams, Cindy. 1966. Bung Karno Penyambung Lidah Bangsa Indonesia. Jakarta: PT Gunung Agung.
       Salam.1984. Bung Karno Putera Fajar. Jakarta:PT Gunung Agung.
       Sartono Kartodirdjo. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
       Asvi Warman Adam. 2003. Revolusi Belum Selesai. Semarang: Mesiass.


[1] Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Jakarta: Gunung agung, 1966, hlm. 24
[2]Ibid, hlm. 42.
[3] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993, hlm. 156-157.
[4] Ibid.,
[5] Salam, Bung Karno Putera Fajar, Jakarta:PT Gunung Agung, 1984, hlm. 21-30.
[6] Ibid.,